Jumat, 01 Februari 2008

Artikel

Membangun Democratic Civility

menjaring Kepala Daerah berkualitas.

Oleh : Imam Syafe’i

Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, atau sering disebut Pilkada adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Gubernur dan Wakil Gubernur untuk provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untuk kabupaten dan walikota dan Wakil Walikota untuk kota. Pilkada berlangsung sejak berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah. Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dam KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupetan/kota.

Pelaksanaan Pilkada langsung tersebut sebenarnya bukan hanya akan mengeleminir konspirasi-konpirasi antar elit politik yang selama ini selalu mendominasi proses seleksi pemilihan kepala daerah (walikota/bupati) dengan menegasikan aspirasi masyarakat melalui aktor-aktor keterwakilan di DPRD, namun juga membuka peluang tampilnya pemimpin-pemimpin daerah berkualitas yang mampu menjadi motor reformasi di tingkat birokrasi.

Menurut Elizabet Santi, pemberlakuan aturan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung itu belum tentu bisa menjamin akan mampu menjaring kepala daerah berkualitas dan mendorong terjadinya reformasi di tingkat birokrasi. Karena menurut Elizabet Santi, ada beberapa kendala krusial yang bisa menghambat terwujudnya pilkada langsung demokratis, yaitu : pertama, Lembaga Demokrasi belum menjadi alat demokrasi yang baik. Kedua, Sifat Partisipasi politik masyarakat masih tradisional. ketiga, Aturan hukum Pilkada langsung masih lemah.

Permasalahan tersebut berpotensi menimbulkan benturan-benturan kepentingan antar massa pendukung calon kepala daerah. Di sisi lain, peluang terjadinya praktik money politics dalam pilkada langsung masih terbuka lebar, yakni bergeser kepada penyelenggara pilkada (KPU Daerah) atau dalam mekanisme seleksi calon kepala daerah ditingkat internal partai. Peluang praktik money politics ini juga bisa terjadi ditingkat para pemilih yang dikamuflasekan dalam berbagai bentuk. Sehingga, keberhasilan pilkada bukan hanya tergantung dari obyektifitas dari KPU daerah dan Pengawas Pilkada, tapi juga sangat ditentukan oleh sikap transparan partai politik, sebagai pintu tunggal proses pencalonan, dalam menakomodasi aspirasi masyarakat luas.

Langkah selanjutnya, sanggupkah semua elemen demokrasi ditingkat lokal siap menata diri dan menghilangkan perilaku-perilaku anti demokrasi guna membangun semangat democratic cinility (keadaban demokrasi) untuk mewujudkan pilkada demokratis dan menjaring kepala daerah berkualitas dalam rangka mewujudkan Governance reform ?

Tampilnya kepala daerah berkualitas sudah menjadi kebutuhan cukup mendesak bagi proses pembaharuan di Indonesia, khususnya untuk mendorong pelaksanaan Covernance Reform dalam mewujudkan Good Governance dengan mengembangkan praktik-praktik demokrasi secara meluas yang mencakup penguatan pertumbuhan ekonomi disertai dengan pemerataan pendapatan ketingkat bawah.

Dalam konteks ini, peran Panwalu sangat penting. Sehingga Panwaslu perlu meningkatkan kinerja secara maksimal dalam mengawasi penyelenggaraan Pilkada agar tidak terjadi lagi, benturan-benturan kepentingan antar masa pendukung calon kepala daerah, Prilaku-prilaku anti demokrasi, praktik Money politics dan Tekanan Politik praktis. Hal itu bisa diminimalisir dengan adanya semangat democratic civility (keadaban demokrasi) sehingga proses pilkada dapat menciptakan kepala daerah yang berkualitas.

Dalam keberlangsungan tersebut perlu adanya strategi Pengawasan dalam mewujudkan pilkada yang jujur adil, langsung umum dan bersih. Adapun strategi yang dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Membuat kebijakan strategis dan perencanaan program pengawasan yang efektif.

Kebijakan ini diperuntukan bagi pengawas dalam melakukan kerja dalam Pilkada, dengan menyusun kebijakan diharapkan dapat melakukan kinerja yang sistematis dan terarah pada keberhasilan pilkada.

2. Memperkuat hubungan interaksi internal dan eksternal.

Dalam hal ini pengawas dipandang perlu untuk memperkuat komitmen dalam melakukan kinerja kedepannya, dan itu perlu adanya hubungan harmonis antara pengawas. Selain memperkuat hubungan internal diperlukan hubungan baik baik dengan semua lapisan masyarakat, baik KPU, DPRD, Pemerintah, OKP, Ormas dan lapisan masyarakat lainnya.

3. Mengawasi dan mendorong kinerja KPU

Pengawasan terhadap KPU adalah sebuah kewajiban yang perlu dilakukan, selain itu kehadiran Panwaslu sebagai pressure dan controling yang dapat mendorong KPU bekerja yang lebih baik. Mengawasi KPU agar tidak terjadi Tekanan Politik dari berbagai parpol, serta memantau KPU agar terhindar adanya mark up di tubuh KPU.

4. Melakukan kinerja yang koorperatif dengan masyarakat.

Apapun yang terjadi dilapangan suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan masyarakat. Dalam hal ini pengawasan akan lebih berjalan jika melibatkan masyarakat dilapangan. Sehingga keberlangsungan pilkada tidak menimbulkan dampak negatif seperti; money politics, KKN, Tawuran antar pendukung, saling menghujat antar calon, adanya intervensi dari orang luar atau yang lainnya yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Kamis, 31 Januari 2008

Agenda

Pancasila Terjepit Globalisasi